Tentang Jesse, Celine, Nadira, Tara dan Perpisahan


Catatan (sangat) pendek untuk Uti, Ita, Ito, To’i, Ati atau siapapun yang (mungkin) membutuhkan.

Jesse-Celine

Waktu kuliah, aku pernah menonton film indie berjudul Before Sunrise yang bercerita tentang sepasang muda-mudi yang (tidak sengaja) bertemu di dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api. Mereka menghabiskan semalam penuh, bersama. Di Vienna, mereka bicara apa saja sampai pagi datang menjemput. Tentang sekolah, pekerjaan, kematian, kehidupan, sex, cinta, dll, dll, dll. Mereka berkeliling kota, berjalan kaki, naik kapal, menonton pertunjukan tari, didatangi peramal, bercumbu di padang, stargazing, naik commuter line, mendengarkan penyair jalanan membacakan puisi khusus buat mereka berdua, dll, dll, dll. Continue reading


Super Daddy, Super Mommy

Satu hari temanku cerita tentang kenangannya sewaktu masih sekolah. Kala itu katanya ada PR di mana salah satu pertanyaannya: “Siapa pendiri kota Medan?”. Sama sepertiku sewaktu sekolah dulu, setiap pekerjaan rumah harus dibubuhi tanda tangan orang tua sebagai validasi kalau PR tersebut dikerjakan di rumah, bukan di sekolah. Sewaktu menyodorkan PR itulah ayah dari temanku melihat pertanyaan tentang pendiri kota Medan belum dijawab oleh putrinya. “Guru Patimpus”. Demikian sang ayah memberitahu putrinya, lengkap dengan ejaan, pe-a-te-i-em-pe-u-es. Temanku lalu menulis di buku PR-nya: Guru Patimpus.

Sampai di sekolah, sewaktu hendak mengumpulkan PR, temanku tiba-tiba merasa kurang percaya diri dengan jawaban “Guru Patimpus” tersebut. Teman-teman sekelasnya menuliskan nama-nama beken pahlawan sebagai jawaban pertanyaan tentang pendiri kota Medan. Dan alangkah terkejutnya temanku tersebut ketika gurunya mengatakan jawaban mereka sekelas tidak ada yang benar karena jawaban yang benar dari pertanyaan tersebut adalah “Guru Patimpus” sama seperti yang dikatakan ayahnya. Belasan tahun setelahnya, temanku itu mengeluarkan kalimat. Bapakku hebat lho. Semua dia tau. Semua. Kalau aku ada PR trus aku nanya dia, pasti dia tau jawabannya. Aku aja yang tidak percaya diri karena melihat jawaban teman sekelasku. Continue reading

Ini Rindu


Ini Rindu

Mengenang Tanpa Ditemani

Dariku, untuk mereka yang lagi merindu atau mengenang sesuatu, seseorang atau saat-saat tertentu.

Oh… Aku rindu,katakan padanya aku rindu.

Oh burung nyanyikanlah, katakan padanya aku rindu…

 

Duet Lucky Resha dan Darma menutup acara “Pendopo” di TVRI malam itu, Sabtu—20 Juli 2013*. Satu setengah jam ternyata sudah berlalu. Lagu “Ini Rindu” karya Farid Harja terasa begitu pas menggambarkan suasana hatiku saat itu. Yah, ini rindu. Bongkahan es rindu yang tersiram air hangat perjumpaan. Mencair. Mengalir.

Continue reading

Seminggu Bersama Manihar Si Bodoh


Seminggu Bersama Manihar Si Bodoh[1]

Ini cerita tentang seseorang yang terbelakang intelektualitasnya. Manihar namanya. Usianya baru dua lima lebih sedikit. Tapi, ada seminggu dalam hidupnya yang mungkin bisa medatangkan tawa bagi kita. Selamat menyimak.

Hari Pertama dan Kedua

Satu senja Manihar duduk berdua di sebuah taman dengan Dian pacarnya. Sejauh pandang, yang dapat dilihatnya oleh Manihar hanya keindahan. Semilir angin membelai wajah cantik kekasih yang duduk di sampingnya. Rambut Dian yang sebahu kadang berayun dihembus angin. Pelukan mesra pada lengannya menambah sedap suasana. Dian yang cantik tiba-tiba bertanya pada Manihar, Abang pernah baca Shakespeare? Continue reading

Perjalanan Kubur


luka ngucap dalam badan
kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang-bintang/ lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina

Alina… Aku rindu. Cuma itu. Sudah berapa tahun kau tidur di sini? Tiga puluh tahun? Lebih? Tiga lima! Tidak pernahkah kau rindu untuk bangun? Tidak pernahkah (sekali saja) kau ingin melihat lagi tunanganmu yang sekarang sudah tua itu? Tidak rindukah kau menyambut fajar pagi, menantang terik matari siang, atau membalas bintang malam yang main mata? Tidakkah kau rindu dunia di atas ini, Alina? Tidak bosankah kau tidur di bawah sana? Haruskah aku ke sini setiap kali ingin berbincang? Siapa yang sanggup dan bahagia jika harus ber-perjalanan kubur hanya untuk melepas rindu? Tapi tak apa. Karena rindu dan kubur sama-sama sendu. Alina aku Rindu. Sungguh rindu.

 

untuk kuburmu alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matari membujuk bulan
teguk tangismu alina

 

Tidak. Aku tidak rindu kau, Alina. Maaf. Aku rindu si gadis yang selalu berdiri di muka hari menantang fajar, menantang matari siang, bermain mata dengan bintang malam. Aku tidak tahu apa dia sudah pernah meneropong bulan. Yang pasti sekali sebulan dia masih datang bulan. Kapan terakhir kali kau datang bulan, Alina? Ah, tidak pentinglah kita bicara tentang bulan yang tak mau dibujuk untuk datang sesuai jadwal. Dia pasti datang menemui malam, bintang dan membiarkan matari terus merayu, menangis. Sendiri.

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina

 

“Nak, kau mau jadi apapun nanti, kau tahu kalau di sini ada rumah untukmu bisa pulang kapanpun kau mau.”

Aku hanya sedang tidak bahagia, Bu. jawabku dalam hati. Tidak tahukah kau, Alina?  Mungkin jika aku sungai, laut, awan, hujan, akar atau pohon, aku tidak akan selara ini. Aku hanya pergi, pergi, pergi, pergi bersama kuburmu.

Aku tidak perlu membantu matari membujuk bulan. Tak perlu mengibarkan bendera hitam. Tak perlu ke bukit, karang, gunung atau bintang. Aku hanya butuh sambungan jarak jauh. Berbincang, menemani sang waktu. Untuk bilang rindu. Tolong jangan bilang ini masih ketinggian sampai aku terluka.

*Perjalanan Kubur (1977) : Sajak karya Sutardji Calzoum Bachri. Dalam tulisan ini ditulis miring.