luka ngucap dalam badan
kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung
ke bintang-bintang/ lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina
Alina… Aku rindu. Cuma itu. Sudah berapa tahun kau tidur di sini? Tiga puluh tahun? Lebih? Tiga lima! Tidak pernahkah kau rindu untuk bangun? Tidak pernahkah (sekali saja) kau ingin melihat lagi tunanganmu yang sekarang sudah tua itu? Tidak rindukah kau menyambut fajar pagi, menantang terik matari siang, atau membalas bintang malam yang main mata? Tidakkah kau rindu dunia di atas ini, Alina? Tidak bosankah kau tidur di bawah sana? Haruskah aku ke sini setiap kali ingin berbincang? Siapa yang sanggup dan bahagia jika harus ber-perjalanan kubur hanya untuk melepas rindu? Tapi tak apa. Karena rindu dan kubur sama-sama sendu. Alina aku Rindu. Sungguh rindu.
untuk kuburmu alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matari membujuk bulan
teguk tangismu alina
Tidak. Aku tidak rindu kau, Alina. Maaf. Aku rindu si gadis yang selalu berdiri di muka hari menantang fajar, menantang matari siang, bermain mata dengan bintang malam. Aku tidak tahu apa dia sudah pernah meneropong bulan. Yang pasti sekali sebulan dia masih datang bulan. Kapan terakhir kali kau datang bulan, Alina? Ah, tidak pentinglah kita bicara tentang bulan yang tak mau dibujuk untuk datang sesuai jadwal. Dia pasti datang menemui malam, bintang dan membiarkan matari terus merayu, menangis. Sendiri.
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
“Nak, kau mau jadi apapun nanti, kau tahu kalau di sini ada rumah untukmu bisa pulang kapanpun kau mau.”
Aku hanya sedang tidak bahagia, Bu. jawabku dalam hati. Tidak tahukah kau, Alina? Mungkin jika aku sungai, laut, awan, hujan, akar atau pohon, aku tidak akan selara ini. Aku hanya pergi, pergi, pergi, pergi bersama kuburmu.
Aku tidak perlu membantu matari membujuk bulan. Tak perlu mengibarkan bendera hitam. Tak perlu ke bukit, karang, gunung atau bintang. Aku hanya butuh sambungan jarak jauh. Berbincang, menemani sang waktu. Untuk bilang rindu. Tolong jangan bilang ini masih ketinggian sampai aku terluka.
*Perjalanan Kubur (1977) : Sajak karya Sutardji Calzoum Bachri. Dalam tulisan ini ditulis miring.